Santo Yohannes Bosco (Italia: Giovanni Melchiorre Bosco) atau lebih akrab dipanggil Don Bosco adalah seorang kudus yang mendirikan Kongregasi istimewa untuk melayani kaum muda yang bernama Serikat Salesian. Nama Salesian diambil dari nama Santo Fransiskus dari Sales, yang menjadi teladan mereka akan kebaikan hati dan kelemah-lembutannya. Kini Kongregasi ini tersebar diseluruh dunia dan mengelola berbagai lembaga pendidikan.
Yohanes Bosco merupakan satu-satunya Orang Kudus yang mempunyai hampir 20 orang pengikut berusia muda (kurang dari 20 tahun) yang diakui oleh gereja dan sedang menjalani proses untuk menjadi orang kudus. Tidak heran jika dikemudian hari gereja mengangkatnya sebagai Pelindung Kaum Muda. Salah satu pengikut dari Don Bosco yang cukup terkenal adalah St.Dominic Savio yang merupakan Orang Kudus non-martir yang paling muda usianya ketika wafat. Dominic Savio wafat ketika berusia 14 tahun dan merupakan salah seorang murid yang mendapat pengajaran langsung dari Yohanes Bosco.
Yohanes Bosco dilahirkan pada tanggal 16 Agustus 1815, di Becchi, sebuah dusun kecil di Castelnuovo d'Asti (sekarang namanya Castelnuovo Don Bosco), Italia. Ayahnya, Francesco, seorang petani yang miskin. Francesco mempunyai tiga orang putera: Antonio (dari isteri pertamanya yang telah meninggal dunia), Yusuf dan Yohanes. Francesco meninggal dunia saat Yohanes baru berusia dua tahun.
Ibunya, Margarita, dengan segala daya upaya dan kerja keras berusaha menghidupi keluarganya. Namun demikian kerja keras dan kemiskinan tidak menghalangi Margarita untuk senantiasa menceritakan kepada anak-anaknya segala kebaikan Tuhan: siang dan malam, bunga-bunga dan bintang-bintang, “Oh, betapa indahnya Tuhan menjadikan segala sesuatu untuk kita!”, kata mama Margarita. Diajarkannya kepada Yohanes kecil bagaimana mengolah tanah dan bagaimana menemukan Tuhan yang ada di surga yang indah melalui panen yang berlimpah dan melalui hujan yang menyirami tumbuh-tumbuhan.
Di gereja, Mama Margarita berdoa dengan khusuk, ia mengajari anak-anaknya untuk melakukan hal yang sama. Bagi Yohanes, berdoa berarti berbicara kepada Tuhan dengan kaki berlutut di atas lantai dapur, berdoa juga berarti berpikir tentang-Nya ketika ia sedang duduk di atas rerumputan sambil menatap ke arah surga. Dari ibunya, Yohanes belajar melihat Tuhan dalam wajah sesama, yaitu mereka yang miskin, mereka yang sengsara, mereka yang datang mengetuk rumah mereka sepanjang musim dingin, dan yang kepada siapa Mama Margarita memberikan tumpangan, menyuguhkan sup hangat serta membagikan makanan dari kemiskinan mereka.
Yohanes Bosco dan Tamu AgungPada usia sembilan tahun untuk pertama kalinya Yohanes mendapat mimpi yang amat menakjubkan yang menggambarkan keseluruhan hidupnya kelak. Dalam mimpinya Yohanes sedang berada di lapangan yang luas. Ia melihat banyak sekali anak di sana, ada yang tertawa, bermain dan ada pula yang bersumpah serapah. Yohanes tidak suka anak-anak itu menghina Tuhan. Ia segera berlari untuk menghentikan mereka sambil berteriak dan mengepalkan tinjunya.
Tampaklah “Seorang yang Agung” berpakaian jubah putih dan wajah-Nya bersinar. Ia memanggil Yohanes dengan namanya, memintanya agar tenang serta menasehatinya:
“Bukan dengan kekerasan, tetapi dengan kelemahlembutan serta belas kasih, kamu akan menjadikan mereka semua teman-temanmu. Beritahukanlah kepada mereka keburukan dosa dan ganjaran kebajikan.”
“Tidak tahukah Engkau,” bisik Yohanes kecil, “bahwa hal itu tidak mungkin?”
“Apa yang tampaknya tidak mungkin bagimu, kamu akan menjadikannya mungkin jika saja kamu melakukannya dengan ketulusan hati dan pengetahuan.”
“Di mana dan bagaimana aku memperoleh pengetahuan?”
“Aku akan memberimu seorang Bunda, dengan bimbingan darinya saja seseorang akan menjadi bijaksana, tanpa bimbingannya semua pengetahuan tidak ada gunanya.”
“Tetapi siapakah Engkau yang berbicara seperti itu?”
“Aku adalah Putera dari Surga. Ibumu telah mengajarkan kepadamu untuk menghormati-Ku tiga kali sehari.”
“Ibuku melarangku untuk berbicara dengan seseorang yang tidak aku kenal. Katakanlah siapa nama-Mu.”
“Tanyakan nama-Ku kepada ibu-Ku.”
Kemudian, tampaklah seorang wanita yang amat anggun. Ia mengenakan gaun panjang yang berkilau-kilauan, seolah-olah jubahnya itu terbuat dari bintang-bintang yang paling cemerlang. Wanita itu memberi isyarat kepada Yohanes untuk datang mendekat kepadanya. Dengan lembut diraihnya tangan Yohanes, katanya, "Lihatlah."
Gerombolan anak-anak lenyap. Yang tampak oleh Yohanes sekarang ialah sekawanan binatang buas: kambing liar, harimau, serigala, beruang”.
“Inilah tempat di mana kamu harus bekerja. Jadikan dirimu rendah hati, kuat dan penuh semangat. Apa yang kamu lihat terjadi pada binatang-binatang buas ini, kamu harus melakukannya kepada anak-anakku.”
Yohanes melihat bahwa binatang-binatang buas itu kini telah berubah menjadi sekumpulan besar anak domba yang jinak, berkerumun dan berdesak-desakan di sekitar Kedua Tamu Agungnya. Melihat itu Yohanes menangis dan minta penjelasan dari Si Wanita karena ia sama sekali tidak mengerti apa arti semua itu. Wanita itu membelainya dan berkata:
“Kamu akan mengerti semuanya jika waktunya telah tiba.”
Yohanes terbangun dan ia tidak dapat tidur kembali.Tahun-tahun mendatang dalam hidupnya telah dinyatakan dalam mimpi itu. Mama Margarita dan Yohanes percaya bahwa mimpi itu adalah gambaran jalan hidup Yohanes kelak.
Sejak itu Yohanes senantiasa berusaha berbuat baik kepada teman-temannya. Ketika terompet pemain sirkus berbunyi untuk mengumumkan adanya pesta lokal di sebuah bukit di dekat situ, Yohanes pergi dengan penuh semangat dan duduk di baris terdepan. Rombongan sirkus itu menampilkan badut, sulap, permainan-permainan dan akrobat. Yohanes memperhatikan dengan sungguh-sungguh dan mempelajari semua atraksi yang ditampilkan.
Sepulangnya dari pertunjukan sirkus, Yohanes mulai meniru atraksi-atraksi yang ditampilkan. Ia gagal, tergelincir, jatuh dan badannya memar, tetapi tekadnya kuat. Ia pantang menyerah, sebab pikirnya, "Jika mereka dapat melakukannya, mengapa aku tidak?" Wah, pastilah malaikat pelindungnya menjadi sibuk sekali mengawasi dia. Yohanes terus berlatih hingga suatu hari Minggu sore, ia mempertunjukkan kebolehannya di hadapan anak-anak tetangga. Ia memperagakan keseimbangan tubuh dengan wajan dan panci di ujung hidungnya. Kemudian ia melompat ke atas tali yang direntangkan di antara dua pohon dan berjalan di atasnya diiringi tepuk tangan penonton. Sebelum pertunjukan yang hebat itu diakhiri, Yohanes mengulang khotbah yang ia dengar dalam Misa pagi kepada teman-temannya itu, dan mengajak mereka semua berdoa.
Kabar mengenai pertunjukan yang diselenggarakan Yohanes tersiar hingga ke desa-desa tetangga. Karena pada masa itu jarang sekali ada pertunjukan semacam, segera saja anak-anak yang bermil-mil jauhnya pun datang untuk menyaksikan pertunjukannya. Jumlahnya hingga seratus anak lebih.
“Kita akan memulainya dengan berdoa Rosaio, Peristiwa Mulia, untuk menghormati hari Minggu.”
Anak-anak itu mengeluh, tetapi mereka menurut. Setelah ia mengajak anak-anak menyanyikan satu kidung bagi Bunda Maria, Yohanes berdiri di atas kursi dan mulai menjelaskan isi Kitab Suci seperti yang didengarnya pada Misa pagi. Jika seorang anak menolak untuk mendengarkan khotbahnya atau menolak berdoa, Yohanes akan berkata : “Baiklah. Aku tidak akan mengadakan pertunjukan hari ini. Jika kalian tidak berdoa, bisa saja aku terjatuh dan leherku patah.”
Permainan dan Sabda Tuhan mulai mengubah perilaku teman-temannya. Yohanes kecil mulai menyadari bahwa agar dapat berbuat baik untuk sedemikian banyak anak, ia perlu belajar dan menjadi seorang imam. Imam Castelnuovo melihat perkembangan iman Yohanes yang luar biasa, hingga ia mengijinkan Yohanes menrima komuni dua tahun lebih awal dari usia yang ditentukan Gereja.
Seorang misionaris, Don Calosso ('Don' dalam bahasa Italia berarti Romo), datang ke desa Buttigliera untuk memberikan pelajaran agama. Yohanes memutuskan untuk mengikuti semua pelajaran agama yang diberikan olehnya, baik pagi maupun sore. Itu berarti ia harus berjalan kaki sejauh 10 (16 kilometer) mil sehari. Antonio menentang keras keinginan Yohanes untuk belajar. Menurutnya sudah tiba waktunya bagi Yohanes untuk bekerja. Oleh karena itu diambil keputusan: pagi hari Yohanes belajar di pastoran dengan Don Calosso, sesudahnya ia harus bekerja di sawah. Yohanes belajar dengan tekun. Ia membawa bukunya ke sawah dan belajar hingga larut malam. Hal itu sangat menjengkelkan Antonio. Antonio, yang sekarang sudah menjadi kepala keluarga, membuang semua buku-buku Yohanes dan mencambuki adik tirinya itu dengan ikat pinggangnya.
Demi keselamatan Yohanes, Mama Margarrita membuat suatu keputusan yang amat menyedihkan hatinya sendiri, ia menyuruh Johanes pergi.
Di suatu pagi yang dingin di bulan Februari 1827, Yohanes pergi menginggalkan rumah dan berkelana untuk mencari pekerjaan. Usianya baru 12 tahun. Sungguh sulit mencari pekerjaan di musim dingin, hanya pada musim panas saja pertanian membutuhkan banyak tenaga kerja. Setiap kali Yohanes selalu di tolak. Hingga tibalah ia di rumah Tn. Luigi Moglia, seorang petani kaya, dekat Moncucco.
“Pulanglah nak,” kata petani itu. “Datanglah kembali pada Hari Raya Kabar Sukacita”
“Berbelas kasihlah, ya Tuan,” Yohanes memohon, “Tuan tidak perlu membayarku satu sen pun, aku tidak minta apa-apa. Ijinkanlah aku tinggal!”
“Tidak mungkin. Pergilah!”
“Tidak, Tuan. Aku akan duduk di lantai sini dan tidak akan pergi.”
Yohanes merasa amat perih hatinya dan menangis. Tergerak oleh belas kasihan, Yohanes diterima bekerja sebagai penggembala sapi. Yohanes amat gembira dan bekerja sebaik yang ia mampu. Ia menggembalakan sapi-sapinya di padang rumput, memerah susu, menumpuk jerami di palungan, dan membajak sawah.
“Mataku terbuka lebar-lebar jika aku sedang bekerja, dan aku tidak berhenti sampai tiba saatnya untuk tidur,” kenang Yohanes. Tanpa ibu dan saudara, tanpa teman di sampingnya, Yohanes memusatkan diri sepenuhnya hanya kepada Tuhan Allah yang amat dikasihinya.
Setiap hari Minggu Yohanes pergi ke gereja untuk mengikuti Misa. Dengan ijin dari Don Cottino, imam paroki setempat, Yohanes mengumpulkan anak-anak untuk bermain dan berdoa seperti yang dulu ia lakukan di desanya.
Tiga tahun kemudian Antonio pindah ke dusun lain. Yohanes pulang kembali ke rumah dan melanjutkan sekolahnya, pertama-tama di Castelnuovo dan kemudian di Chieri. Guna membiayai pendidikannya, selain menerima sumbangan dari orang-orang yang bersimpati padanya, Yohanes Bosco juga bekerja. Segala macam pekerjaan dilakukannya: penjahit, tukang roti, tukang sepatu, tukang kayu, dan segala macam pekerjaan yang dapat dikerjakannya.
Sebagai pelajar, Yohanes seorang remaja yang pandai dan cerdas. Ia adalah murid terbaik di antara semua murid sekolahnya. Ia mengumpulkan teman-temannya dan membentuk suatu kelompok religius yang diberinya nama Kelompok Sukacita. Yohanes menjadi penggerak utama bagi teman-temannya. Kepribadiannya terbuka, dinamis, vitalitas hidupnya tinggi, kadang ia kurang sabar dan terbawa emosi. Sekali waktu ia menekankan perbuatan baik, kebenaran serta keadilan bukan dengan kelemahlembutan, tetapi justru dengan tinjunya.
Pada suatu hari seorang guru datang terlambat ke kelas. Murid-murid menjadi ribut, saling melempar buku dan kapur. Hanya seorang anak saja yang duduk dengan tenang di bangkunya. Luigi Comollo seorang anak yang tenang dan pendiam hingga Yohanes tidak pernah memperhatikannya.
“Ayo Luigi,” teriak salah seorang anak yang paling nakal.
“Tidak, aku tidak mau bermain, aku sedang mengerjakan sesuatu.”
“Datang, kataku!”
“Tidak.”
“Datang, atau kupukul kau.”
“Pukullah jika kamu mau.”
Dengan jengkel anak nakal itu datang dan mendaratkan dua tinjunya ke wajah Luigi. Luigi tidak membalasnya. Dengan suara yang amat tenang ia berkata, “Puaskah kamu sekarang? Aku memaafkan kamu. Sekarang biarkan aku sendiri.”
Penyerang itu mundur dengan perasaan malu. Sikap Luigi yang amat tenang dan lembut itu mengesankan Yohanes. Yohanes dan Luigi ibarat api dan air, seperti singa dan anak domba. Yohanes mengagumi Luigi dan darinya ia belajar untuk menguasai diri dan meredam kemarahannya. Sejak itu mereka bersahabat karib.
Setalah tamat sekolahnya, pada usia dua puluh tahun, Yohanes Bosco mengambil keputusan yang amat penting dalam hidupnya: ia masuk Seminari Chieri. Mama Margarita menegaskan kepadanya untuk selalu setia kepada panggilannya, jika ia ragu-ragu lebih baik diurungkannya saja niatnya itu daripada menjadi seorang imam yang lalai dan acuh. Nasehat ibunya itu diingat dan dihormati oleh Yohanes sepanjang hidupnya.
Tak disangkanya, Luigi Comollo, menyusulnya beberapa bulan kemudian. Kepadanyalah, Yohanes mengutarakan semua cita-cita dan rencananya. Luigi sendiri tidak menyusun banyak rencana seperti Yohanes, ia merasa bahwa hidupnya akan segera berakhir. Tak dikatakannya perasaannya itu kepada sahabatnya, tetapi mereka berdua telah bersepakat: siapa pun yang terlebih dahulu meninggal dunia akan memohon kepada Tuhan untuk memberi ijin memberitahukan kepada sahabatnya yang masih di dunia bahwa ia telah masuk dalam kebahagiaan abadi.
Tahun berikutnya, pada tanggal 2 April 1839, hari Kamis sesudah Paskah, Luigi meninggal dunia karena demam. Yohanes amat berduka karena bagian dari dirinya yang berharga telah pergi. Malam sesudah pemakaman dua puluh orang yang tidur dalam satu kamar asrama dengan Yohanes terbangun karena suara yang aneh. Seolah-olah sebuah kereta kuda, atau kereta api, sedang melaju di lorong, kereta itu menerjang dan menghantam bagaikan gemuruh artileri, menyebabkan lantai dan langit-langit berguncang, pintu kamar terbuka lebar-lebar dan masuklah ke dalam ruangan mereka suatu sinar yang tiba-tiba bersinar amat terang. Dan, dalam keheningan, banyak dari mereka yang mendengar suatu suara yang lembut menyanyi dengan gembira. Tetapi hanya seorang saja yang mendengar perkataan ini : “Bosco, aku selamat.”
Sinar menghilang dan pergi dengan cara yang sama seperti datangnya. Kemudian segala sesuatunya berakhir. Yohanes dipenuhi dengan sukacita dan syukur.
Pada tanggal 5 Juni 1841, Uskup kota Turin mentahbiskan Yohanes Bosco menjadi seorang imam. Yohanes merasa amat bahagia, demikian juga Mama Margarita. Anaknya yang dikasihinya telah ditahbiskan untuk mempersembahkan Tubuh dan Darah Penyelamat-nya setiap hari di altar. Waktu itu Yohanes hampir dua puluh enam tahun.
Setelah ditahbiskan Don Bosco (Romo Bosco) bertugas di kota Turin di bawah bimbingan seorang imam yang saleh, Don Cafasso (kelak dikenal dengan nama Santo Yoseph Cafasso) . Keadaan anak-anak jalanan segera menyentuh hatinya. Don Bosco menelusuri kota Turin dan menjadi sadar akan kondisi moral kaum muda. Ia sangat terpukul. Daerah pinggiran kota adalah daerah yang penuh dengan kekacauan, suatu tempat yang kumuh dan hancur akibat revolusi industri. Karena tidak memiliki pekerjaan dan merasa gelisah para remaja itu menjadi liar. Mereka menimbulkan kerusuhan di jalan-jalan.
Don Bosco melihat mereka bertaruh di pojok-pojok jalan, wajah mereka keras dan kaku, seolah-olah hendak mencapai segala keinginan mereka dengan jalan apa saja. Dekat dengan pasar kota, ia menjumpai pasar dengan pekerja-pekerja remaja. Di daerah sekitar Porta Palazzo, demikian ditulis oleh Don Bosco bertahun-tahun kemudian, berkerumun para penjaja barang, penyemir sepatu, anak-anak pengurus kandang, berbagai macam pedagang, pesuruh: semua kaum miskin papa yang dengan susah payah mencari penghidupannya dari hari ke hari. Anak-anak itu, yang mondar-mandir di jalan-jalan kota Turin, adalah korban dari dampak buruk revolusi industri. Masyarakat pedesaan berbondong-bondong datang ke kota untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik, akibatnya jumlah pengangguran di kota semakin tinggi menyebabkan semakin meningkatnya jumlah keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Tetapi, hal yang paling menyentuh hati Don Bosco adalah ketika ia mengunjungi penjara. Ia menulis demikian :
Melihat begitu banyak anak, dari usia 12 hingga 18 tahun, semuanya dalam keadaan sehat, kuat, cerdas, digigiti serangga, kekurangan makan baik makanan rohani maupun jasmani, sungguh sesuatu yang amat mengerikan bagi saya. Saya harus, dengan segala prasarana yang ada, mencegah kehidupan para anak dan remaja itu berakhir di sini.
Ada 16 gereja di Turin. Para imam di sana menyadari masalah yang dihadapi kaum muda, tetapi yang mereka kehendaki adalah agar anak-anak dan para remaja itu pergi ke gereja untuk belajar agama. Para imam itu kurang menyadari bahwa cara pendekatan seperti itu tidak akan membawa hasil. Perlu sekali dilakukan pendekatan baru, skema baru, bentuk pewartaan yang baru, yaitu mendatangi anak-anak itu di toko-toko, kantor-kantor dan pasar-pasar. Banyak imam muda yang mulai mengadakan pendekatan semacam ini.
Don Bosco mendapatkan anaknya yang pertama pada Hari Raya Santa Perawan Maria yang Dikandung Tanpa Dosa. Ia sedang mengenakan jubahnya untuk mempersembahkan Misa di Gereja Convitto, ketika seorang remaja jalanan berusia enam belas tahun melongok ke ruang sakristi.
“Apakah kamu datang untuk mengikuti Misa?” tanya Koster.
“Tidak, saya belum pernah ikut Misa.”
“Lalu, untuk apa kamu ke sini? Oh ya, kamu pastilah salah satu dari anak-anak berandal yang suka mencuri itu ya. Ayo, cepat enyahlah dari sini!”
Koster mendorong anak itu ke luar, memukul kepalanya dengan sapu dan membanting pintu sakristi tepat di hadapannya.
“Mengapa kamu memukul anak itu?” tanya Don Bosco pada si koster. “Apakah salahnya? Aku melarangmu untuk memperlakukan teman-temanku seperti itu”
Kemudian dengan penuh kasih diulurkannya tangannya kepada remaja yang menangis itu, “Mari, masuklah, kawan.” Anak itu bernama Bartolomeo Garelli.
Hari Minggu berikutnya, Bartolomeo Garelli membawa enam anak lain bersamanya. Mereka semua acak-acakan, kotor dan dekil serta liar, tetapi mereka bersedia belajar agama. Tiga bulan kemudian jumlah anak-anak menjadi dua puluh lima dan pada musim panas delapan puluh anak hingga akhirnya jumlahnya mencapai seratus anak. Mereka itu adalah kuli jalanan, pemecah batu, tukang batu, tukang plester yang datang dari daerah-daerah yang jauh. Dari sanalah terbentuk komunitas kaum muda yang oleh Don Bosco disebut Oratorio.
Mereka semua bertemu pada hari Minggu. Mereka ikut ambil bagian dalam perayaan Misa, belajar agama dan bermain bersama. Kegiatan kelompok Oratorio tidak dibatasi pada hari Minggu saja. Bagi Don Bosco, Oratorio adalah hidupnya. Ia mencarikan pekerjaan bagi anak-anak yang belum memperoleh pekerjaan dan ia mengajar anak-anak itu setelah mereka selesai bekerja. Jumlah mereka bertambah dan bertambah terus hingga mencapai empat ratus orang.
Setiap malam Don Bosco menghendaki agar anak-anak itu mendaraskan tiga kali Salam Maria, mohon agar Bunda Maria membantu mereka untuk menjauhkan diri dari dosa. Ia juga mendorong mereka untuk menerima Sakramen Rekonsiliasi dan Komuni Kudus sesering mungkin dan dengan penuh cinta.
Tuhan memberkati semua usaha Don Bosco dan memberikan karunia mukjizat kepadanya. Segala karunia mukjizat itu memperkuat bakat-bakat alaminya guna mendukung serta membimbingnya. Hanya dengan campur tangan Allah saja segala karunia dan bakat-bakatnya itu dapat bekerja sebaik-baiknya untuk mendatangkan kemuliaan bagi Tuhan.
Berbagai macam halangan dan rintangan menghadang Don Bosco. Ia membutuhkan dana untuk Kelompok Oratorio-nya. Ia membutuhkan tempat yang cukup luas bagi keempat ratus anak itu untuk berdoa, belajar dan bermain. Sampai saat itu kemana pun mereka pergi, mereka selalu diusir. Empat ratus anak berandal berkeliaran, bernyanyi, bermain bola sambil berteriak-teriak sungguh merupakan gangguan bagi penduduk sekitarnya.
Imam-imam yang lain pun menganggap Don Bosco sudah menyimpang dari misinya. Dengan empat ratus anak kasar dan liar yang selalu mengikutinya, ia dianggap sudah tidak waras lagi. Oleh karena itu, dua orang imam mencoba membawanya ke rumah sakit jiwa. Mereka datang dengan kereta kuda dan berusaha menjebak Don Bosco untuk ikut bersama mereka. Dengan halus Don Bosco mempersilakan mereka masuk terlebih dahulu. Ketika kedua imam itu telah berada di dalam kereta kuda, ia segera membanting pintunya dan berteriak kepada pak kusir:
"Ke rumah sakit jiwa, cepat! Mereka ditunggu!”
Pak kusir melarikan keretanya sekencang-kencangnya. Kedua imam itu demikian marahnya, hingga ketika tiba di rumah sakit jiwa, para petugas mengira bahwa mereka benar-benar orang gila.
Halangan dan rintangan datang bertubi-tubi, tetapi Don Bosco memperoleh dorongan serta semangat melalui mimpi-mimpinya. Dalam salah satu mimpinya, Bunda Maria membawanya ke suatu taman yang indah. Pohon-pohon mawar yang indah memenuhi taman dengan bunga-bunganya yang indah serta baunya yang harum. Ia disuruh melepaskan sepatunya dan berjalan di jalan setapak yang kecil melewati pohon-pohon mawar. Baru beberapa langkah saja kakinya yang telanjang telah tergores-gores dan berdarah terkena duri-duri pohon mawar. Ketika ia mengatakan bahwa ia harus mengenakan sepatunya, Bunda Maria menyuruhnya mengenakan sepatu yang kuat. Sementara ia melangkah lagi untuk kedua kalinya, ia disertai oleh penolong-penolong. Tetapi dinding taman merapat ke arahnya, langit-langitnya turun ke bawah dan pohon-pohon mawar itu menjalar hingga ke jalan setapak. Seluruh tubuhnya terluka terkena duri. Dicobanya menyingkirkan mereka tetapi hanya luka-luka baru yang didapatkannya, segera saja ia terjerat dalam duri-duri itu. Namun mereka yang melihatnya berkata, “Betapa beruntungnya Don Bosco! Jalannya senantiasa penuh dengan bunga-bunga mawar! Ia tidak khawatir mengenai apa pun juga di dunia ini. Tidak punya masalah sama sekali!” Banyak penolongnya yang mengira bahwa perjalanan mereka akan mudah, menjadi kecewa dan pulang kembali, tetapi beberapa tetap tinggal bersamanya. Pada akhirnya ia memanjat pohon-pohon mawar yang berduri itu dan menemukan taman lain yang jauh lebih indah. Angin sepoi-sepoi membelai kulitnya yang tercabik-cabik dan menyembuhkan luka-lukanya.
Don Bosco menafsirkannya sebagai berikut: jalan setapak itu ialah misinya, bunga-bunga mawar adalah pengabdiannya kepada anak-anak dan para remaja, duri-duri ialah hambatan, rintangan dan kegagalan yang akan menghalangi jalannya. Pesan mimpi itu amat jelas bagi Don Bosco: ia harus terus maju, berpegang teguh pada Tuhan dan misinya, maka ia akan tiba di tempat yang telah disediakan untuknya.
Yohanes menyewa Graha Pinardi di Voldocco, sebuah rumah yang tidak terpakai yang terletak di daerah terpencil. Bangunan itu rendah, lembab, dengan dindingnya retak-retak dan atapnya berjamur. Don Bosco menjadikan ruang depannya sebagai kapel sederhana sekaligus ruang belajar. Pada pintunya Don Bosco memakukan pesan kebanggaan yang dalam salah satu mimpinya dilihatnya Bunda Maria menelusurkan jarinya atas papan institutnya kelak : Haec est Domus Mea; Inde Gloria Mea. (Inilah Rumah-Ku: darinyalah Kemuliaan-Ku akan terpancar)
Jadi, pada akhirnya, tepatnya pada Pesta Paskah 12 April 1846 Kelompok Oratorio memiliki gereja mereka sendiri!
Pada tanggal 3 November tahun itu, Don Bosco memutuskan untuk tinggal di Valdocco. Ia meminta Mama Margarita yang telah berusia 59 tahun, meninggalkan rumahnya di Becchi untuk mengurus rumah tangga dan menjadi ibu bagi anak-anak asuhnya. Mama Margarita menjual cincin kawinnya, anting-antingnya, kalungnya, barang-barang yang selama ini amat berharga dan disayanginya, agar dapat membayar sewa rumah, biaya keperluan rumah tangga dan menyediakan makanan bagi anak-anak yang datang kepadanya.
Pada suatu hari Don Bosco bertemu dengan anak-anak berandal yang hendak mengancamnya. Ia mentraktir mereka minum, bercanda dengan mereka dan mendengarkan cerita-cerita mereka.
“Dan sekarang pulanglah. Selamat malam.”
“Pulang kemana, Romo? Kami tidak mempunyai tempat tinggal.”
“Tidak seorang pun dari kalian yang mempunyai tempat tinggal?”
“Tidak, Romo.”
“Baiklah. Mari menumpang di rumahku.”
Mereka pulang dan tidur di rumah Don Bosco. Keesokan harinya ketika hendak menawarkan sarapan bagi tamu-tamunya, Don Bosco mendapati bahwa anak-anak berandal yang kurang ajar itu itu telah pergi dengan membawa semua seprei dan selimutnya.
Pada bulan Mei 1847 Mama Margarita memberi tumpangan kepada seorang remaja dari Valesia. Menyusul anak dari Valesia itu, anak-anak yang lain ikut tinggal bersama Don Bosco hingga jumlahnya mencapai 30 anak. Tuhan memberkati semua karya dan usaha Don Bosco.
Pada tahun 1851, sebuah kapel St.Fransiskus de Sales didirikan dekat dengan Graha Pinardi yang sekarang telah menjadi milik Don Bosco. Bangunan-bangunan tersebut merupakan bangunan awal dari Institut St. Fransiskus de Sales.
Revolusi Perancis meletus dan pengaruhnya telah menyebar ke Eropa. Rakyat mulai beralih pada pemikiran tentang kebesasan: kebebasan pribadi, kebebasan bernegara, kebebasan dari adat-istiadat, kebebasan dari gereja. Ketika Tuhan dan gereja mulai ditentang bahkan dihujat, Don Bosco menggunakan segala daya upaya untuk menentang mereka. Khotbah-khotbahnya dan tulisan-tulisannya, semuanya itu menghambat usaha musuh-musuhnya dan amat menjengkelkan mereka. Peluru ditembakkan lewat jendela kapel, minuman beracun, api dan berbagai macam usaha dilakukan untuk merenggut nyawanya, tetapi Don Bosco selamat.
Pada suatu sore di musim gugur tahun 1852, Don Bosco sedang dalam perjalanan pulang seorang diri melewati daerah yang kotor dan menyeramkan. Seekor anjing membuntutinya dari belakang, seekor anjing yang amat besar mirip serigala. Don Bosco menyapanya. Anjing itu menanggapi perhatian Don Bosco dan berjalan disampingnya, menemaninya sepanjang perjalanan hingga Don Bosco tiba dengan selamat di depan pintu rumahnya. Anjing itu kemudian berbalik dan segera pergi.
Di kali lain, anjing itu muncul kembali, menemaninya hingga tiba di depan pintu rumah, kemudian berbalik dan segera pergi. Kejadian itu berulang sekali, dua kali, sepuluh kali, hingga jika Don Bosco pulang larut malam sendirian ia dapat yakin bahwa anjing itu akan datang untuk menemaninya. Don Bosco menamainya Grigio, artinya abu-abu.
Don Bosco senang dengan kehadiran Grigio. Suatu ketika tembakan di arahkan kepadanya dan Grigio menyelamatkannya. Dua orang berusaha melemparkan sebuah buntalan besar ke arah kepala Don Bosco dan Grigio menyelamatkannya. Dua belas orang datang untuk menyerang Don Bosco dan Grigio menyelamatkannya pula.
Kadang-kadang Grigio mampir ke rumah Don Bosco. Ia menolak makanan maupun minuman. Anak-anak kecil bermain-main dengannya dan Grigio amat jinak terhadap mereka. Tetapi ia tak pernah datang tanpa alasan. Sekali waktu ia datang untuk memastikan bahwa Don Bosco sudah tiba di rumah, jika Don Bosco naik kereta kuda. Sekali waktu ia datang untuk mencegah Don Bosco pergi. Ia berbaring di ambang pintu dan menghalangi jalan keluar. Ketika Don Bosco menyuruhnya pergi, ia akan menggeram bahkan ia tidak akan segan-segan menggigit tuannya itu jika Don Bosco bersikeras. Keesokan harinya barulah Don Bosco tahu bahwa sore itu musuh-musuhnya telah menyiapkan perangkap untuk merenggut nyawanya. Ketika keadaan sudah aman, Grigio tidak pernah muncul kembali.
Sepuluh tahun kemudian, Don Bosco hendak mengunjungi keluarga Moglia. Ia telah diperingatkan untuk berhati-hati karena perjalanan ke sana tidak aman.
“Oh, andaikan saja Grigio ada di sini!” gumam Don Bosco
Malam telah larut. Seekor anjing berlari-lari datang ke arahnya, melompat-lompat dan mengibas-ngibaskan ekornya dengan gembira. Tentu saja, anjing itu Grigio. Ia menemani Don Bosco hingga selamat tiba di tempat pertanian, lalu menghilang.
Pada tahun 1883 - 31 tahun sejak ia hadir pertama kalinya, Grigio muncul kembali di Bordighera untuk menunjukkan jalan kepada Don Bosco yang sedang tersesat. Don Bosco yakin bahwa Grigio adalah utusan dari surga.
Pada suatu hari ketiga ratus anak Oratorio sedang antri untuk mendapatkan roti. Tunggakan roti sudah menumpuk dan tukang roti tidak mau lagi mengirim roti sampai hutang tersebut dilunasi. Don Bosco meminta agar dibawakan kepadanya roti apa pun yang masih tersisa. Mereka mengumpulkan lima belas potong roti saja. Don Bosco memasukkan tangannya ke dalam keranjang roti dan mulai membagi-bagikan roti kepada ketigaratus muridnya. Ketika semua anak telah mendapat bagian, masih tersisa lima belas potong roti dalam keranjang!
Don Bosco juga menggandakan kenari, menggandakan Hosti Kudus, dan membangkitkan seorang anak dari mati. orangtuanya membawa jenasah anak itu ke hadapan Don Bosco. Sama seperti Yesus, ia pun mengatakan, “Anakmu sedang tidur.”
Mereka meninggalkan Don Bosco sendirian bersama dengan jenasah anak itu.
Sambil membuka kain yang menutupi jenazah tersebut Don Bosco berkata : “Charles, Charles, bangunlah!”
Anak itu pun membuka matanya.
“Oh, engkaukah itu, Don Bosco. Telah lama aku memanggil-manggilmu. Aku merasa seperti jatuh ke neraka karena dosa yang belum aku akukan. Aku hanya mau mengaku dosaku kepadamu. Aku melihat seorang wanita yang amat cantik mengusir setan-setan itu pergi dan berkata, "Lepaskan dia, ia belum diadili." Maka aku dibebaskan lalu engkau datang.”
Charles mengakukan dosanya dan hidup selama dua jam lagi. Kemudian Don Bosco bertanya kepadanya:
“Manakah yang kamu pilih anakku : tinggal di dunia ini lagi atau pergi ke Surga?”
“Ke Surga, Don Bosco!”
“Kalau demikian, sampai jumpa lagi anakku.”
Don Bosco menyadari betapa bahayanya membiarkan anak-anak asuhnya itu pergi ke kota untuk kerja magang (bekerja untuk belajar suatu keahlian). Don Bosco menetapkan Kontrak Kerja Magang bagi mereka. Kontrak-kontraknya itu termasuk yang pertama ada di Turin. Semuanya ditandatangani oleh majikan, murid yang magang dan Don Bosco. Dalam kontrak itu Don Bosco menetapkan pokok-pokok yang dianggap memberatkan pihak majikan. Beberapa majikan menjadikan murid magang sebagai pelayan dan budak. Don Bosco mewajibkan para majikan untuk mempekerjakan para murid hanya di bidang yang dipelajari mereka. Para majikan biasa memukul anak-anak. Don Bosco menetapkan bahwa teguran hanya boleh dilakukan melalui kata-kata. Ia memperhatikan kesehatan anak-anak, karenanya meminta agar anak-anak diberi istirahat pada hari-hari libur dan diberi cuti tahunan. Bertentangan dengan segala usaha dan kontrak-kontrak yang dibuat, kondisi kerja magang masa itu tetap memprihatinkan.
Oleh karena itu Don Bosco mulai membentuk bengkel-bengkel sendiri di Valdocco: tukang sepatu, tukang jahit, tukang kayu, tukang kunci, penjilidan buku dan percetakan. Don Bosco menguasai semua bidang itu, ia memberikan nasehat dan pelajaran bagi anak-anak. Dengan demikian anak-anak telah siap dan matang ketika mereka bekerja di luar.
Di samping itu Don Bosco memberikan pelajaran khusus bagi mereka yang berminat untuk mengikuti jejaknya. Melalui mimpinya Don Bosco mengetahui anak-anak mana yang akan meninggalkannya dan anak-anak mana yang akan tetap bersamanya. Ia bahkan mengetahui masa depan anak-anaknya, misalnya saja Giovanni Cagliero dari Castelnuovo d'Asti kelak akan menjadi seorang Kardinal, Michael Rua kelak akan menjadi penerusnya. Sore hari tanggal 6 Januari 1854 ia mengumpulkan mereka dan menyampaikan pesan berikut:
"Sahabat-sahabatku terkasih, selama Novena menyambut pesta santo pelindung kita, St. Fransiskus de Sales, saya menganjurkan kepada kalian untuk sejak hari ini, dengan pertolongan Tuhan, mengamalkan belas kasih kepada sesama. Setelah masa ini berakhir, kalian diperkenankan mengikat diri dengan suatu janji, dan sesudahnya dengan suatu sumpah. Mulai sore hari ini kita menyebut diri kita Salesian."
Mama Margarita semakin tua dan semakin sibuk. Sekarang jumlah anak yang harus diasuhnya berjumlah seratus lima puluh orang. Beberapa wanita saleh datang membantu Mama Margarita. Pada musim dingin tahun 1856 Mama Margarita terserang pneumonia. Ia terbaring di tempat tidur selama satu minggu dan pada akhirnya menghembuskan napasnya yang terakhir. Kepergiannya amat menyedihkan hati Don Bosco serta semua anak-anak asuhnya.
“Bunda Penghibur orang-orang berduka,” keluh Don Bosco,”engkau tahu bahwa sekarang aku sudah tidak mempunyai seorang ibu. Padahal aku mempunyai demikian banyak anak. Bersediakah engkau menjadi pengganti ibuku? Jagalah anak-anakku, ya Bunda Maria!”
Seringkali ketika Don Bosco memasuki Oratorionya, ia melihat Bunda Maria mengenakan mahkota dari bintang-bintang yang cemerlang berdiri di atas sebuah gereja yang besar. Melihat Bunda Maria di sana, Don Bosco akan berteriak kepada anak-anak :
“Tidakkah kamu melihatnya. Ia ada di atas kubah. Bunda Pertolongan Orang-orang Kristen, dengan mahkotanya dari bintang-bintang?"
Tetapi mereka tidak melihat apa-apa kecuali langit: tidak ada kubah, tidak ada Bunda Maria.
Don Bosco harus menunggu beberapa tahun ketika pada akhirnya sebuah gereja besar dibangun untuk dipersembahkan kepada Bunda Maria. Di atas kubah gereja ditempatkan patung Santa Perawan Maria Pertolongan Orang Kristen, persis seperti yang dilihatnya dalam penglihatan.
Mama Margarita dikemudian hari dimaklumkan sebagai vanerabilis pada tanggal 23 October 2006 oleh Paus Benedictus XVI.
Di usianya yang keempat puluh tahun, Don Bosco menderita pemekaran pembuluh darah di kakinya. Tahun 1856 mata kanannya terkena musibah hingga hampir buta. Sakit kepala, demam, rematik, muntah darah dan berbagai macam penyakit lainnya.
Awal tahun 1862 setan mulai mengganggu waktu tidurnya yang amat sempit itu dengan cara yang sangat aneh dan tak tertahankan. Suara ribut dan gaduh, badai mengamuk, derap prajurit, suara kapak menghantam kayu tak henti-henti, perabotan menari-nari secara ajaib. Tempat tidurnya diguncang-guncang dan dibalikkan, kain seprei terkoyak-koyak, lidah-lidah api berlompatan dari perapian yang mati. Setan duduk di atasnya, mencengkeram pundaknya dan menyeretnya, menyapukan sikat es ke wajahnya, menginjak-injaknya, melepaskan binatang-binatang liar: beruang, harimau, ular, monster. Anak-anak asuhnya yang setia menjaga di pintu kamarnya, tetapi sebentar saja mereka akan menjadi panik dan lari. Keesokan harinya mereka bertanya :
“Tak dapatkah Romo mengusirnya?”
“Jika aku mengusirnya, setan-setan itu akan mengganggu kalian.”
“Romo tidak bertanya pada mereka, apa maunya?”
“Tidak penting... Berdoa sajalah.”
Anak-anak berdoa dengan sungguh-sunguh. Dua tahun gangguan para setan itu dideritanya sebelum pada akhirnya musuh-musuhnya itu menyerah.
Pada tahun 1856 seorang imam, Don Pestarino, membentuk sebuah kelompok di bawah perlindungan Santa Perawan Maria yang Dikandung Tanpa Dosa. Kelompok tersebut beranggotakan para gadis yang bersedia melayani Tuhan. Salah seorang di antara mereka ialah Maria Dominica Mazzarello. Dengan salah seorang temannya Maria membentuk kelompok kecil di mana anak-anak perempuan, sebagian besar diantaranya yatim piatu, belajar menjahit, membaca, menulis dan berdoa. Gadis-gadis yang lebih besar pun mulai bergabung dengan mereka dan tinggal sebagai suatu komunitas. Mereka mencontoh apa yang dilakukan Don Bosco dengan kelompok Oratorio-nya. Don Bosco mendengar juga tentang kegiatan mereka, tetapi ia kurang peduli.
Suatu malam ia bermimpi. Ia sedang menyusuri jalan kota Turin ketika tiba-tiba ia dikelilingi oleh banyak sekali anak perempuan. Mereka melompat, berlari, berteriak, mereka sama nakal dan sama liarnya dengan anak laki-laki. Mereka mengenali Don Bosco, menyambutnya dan memohon kepadanya:
“Peliharalah kami, Don Bosco.”
Don Bosco berusaha menyuruh mereka pergi.
“Jangan acuhkan kami,” pinta mereka.
Don Bosco tergerak hatinya oleh belas kasihan, “Tidak ada yang dapat kulakukan untuk kalian. Percayalah pada Penyelenggaraan Tuhan.”
Tetapi anak-anak perempuan yang lebih besar mendesak:
“Jika demikian, apakah kami harus menyusuri jalan-jalan mengharapkan belas kasihan?”
Don Bosco ragu-ragu. Tiba-tiba Bunda Maria berdiri di hadapannya dan berkata dengan lembut :
“Mereka ini juga anak-anakku. Ambillah. Aku memberikannya kepadamu.”
Don Bosco menemui Don Pestarino. Mereka sepakat untuk menjadikan komunitas kecil Maria Dominica Mazzarello menjadi suatu konggregasi. Demikianlah, pada tanggal 5 Agustus 1872 Uskup meresmikan Konggregasi Puteri-Puteri Maria Pertolongan Orang Kristen dengan Maria Mazzarello sebagai Priorin (Latin, jabatan pemimpin rumah biara). Rumah biara tersebut berhadapan dengan Institut Salesian.
Pada tahun 1876 Don Bosco juga membentuk Serikat Salesian Awam yang beranggotakan kaum awam yang bersedia membantu Salesian dengan mencurahkan segala perhatian, waktu dan dana mereka. Serikat Salesian dan Serikat Salesian Awam saling berbagi karya, doa dan berkat.
Pada tahun 1861 Don Bosco mendapat mimpi. Ia melihat suatu taman kota dengan sebuah roda raksasa di tengah-tengah taman. Suatu makhluk misterius, mungkin seorang malaikat, mulai memutar roda tersebut. Setiap putaran mewakili sepuluh tahun karya hidupnya. Roda yang berputar itu menimbulkan suara bising. Namun demikian pada putaran pertama, hanya Don Bosco saja yang mendengar suaranya. Pada putaran kedua seluruh kota mendengarnya, pada putaran ketiga seluruh Italia mendengarnya, pada putaran keempat seluruh Eropa mendengarnya, dan pada putaran kelima seluruh dunia mendengarnya.
Mimpi tersebut ditegaskan dengan suatu mimpi lain pada tahun 1872. Ia melihat suatu padang gurun yang amat luas. Penduduknya hampir telanjang, berbadan besar dengan muka yang kaku, warna kulitnya gelap, jubah panjang dari kulit di punggungnya, rambutnya ditata aneh, dengan seutas jerat dan semacam lembing yang panjang di tangannya. Mereka berburu binatang liar, berkelahi satu sama lain dan berperang dengan prajurit Eropa. Padang itu segera dipenuhi dengan mayat-mayat bergelimpangan. Tiba-tiba ia melihat datangnya serombongan misionaris dari berbagai macam ordo. Orang-orang liar itu membunuh mereka. Kemudian datang lagi serombongan misionaris muda yang dengan sukacita siap sedia menjadi martir. Don Bosco terperanjat karena mereka adalah Serikat Salesian. Imam-imam muda itu merentangkan tangannya sambil tersenyum. Don Bosco ingin menghentikan mereka dan menyuruh mereka segera melarikan diri, tetapi kasih dan sukacita imam-imam Salesian mempesona orang-orang liar itu. Mereka menjatuhkan senjata mereka dan menyambut para misionaris. Para imam muda duduk di tengah-tengah mereka, berbicara dengan mereka dan mempertobatkan mereka. Mereka berdoa Rosario serta menyanyikan lagu pujian bagi Bunda Maria.
Pada tahun 1874 Uskup Agung Buenos Aires meminta Don Bosco untuk mewartakan Injil di Tierra del Fuego. Ia tidak ragu sedikit pun. Ia sudah tahu siapa yang hendak diutusnya menjadi kepala misionaris di sana. Ia ingat akan suatu penampakan dua puluh tahun yang silam. Saat itu Cagliero, salah satu anaknya yang terbaik, sakit keras hingga hampir meninggal. Don Bosco takut kehilangan dia, seperti dia kehilangan Dominikus Savio, salah seorang muridnya yang wafat pada usia 14 tahun dan telah diangkat menjadi santo. Don Bosco amat memikirkan kondisi Cagliero yang semakin memburuk hingga ia melihat dekat tempat tidur di mana anak itu terbaring: suatu suku berkulit merah, di antara mereka juga terdapat dua pejuang raksasa, membungkuk dengan hormat kepada anak itu. Seekor burung merpati terbang dengan ranting zaitun di paruhnya, melayang-layang di atas Cagliero, lalu menjatuhkan ranting zaitunnya ke atas tempat tidurnya dan terbang pergi. Kata Don Bosco kepadanya :
“Kamu tidak akan meninggal, nak. Kamu akan menjadi seorang imam dan kamu akan pergi ke suatu tempat yang jauh, sangat jauh.”
Pada tanggal 11 November 1875, rombongan misionaris Don Bosco yang pertama dipersiapkan, terdiri dari empat imam dan enam awam dipimpin oleh Don Cagliero.
“Kalian adalah rombongan yang kecil. Kalian akan akan mencari jiwa-jiwa, bukan harta benda atau kehormatan. Biarlah dunia tahu bahwa kalian miskin dalam sandang, pangan dan papan, tetapi kalian kaya di hadapan Tuhan dan berkuasa atas jiwa-jiwa. Lakukan yang terbaik, Tuhan dan Bunda Maria akan menyempurnakan karya kalian.”
Tahun berikutnya Don Bosco melihat dalam suatu mimpi rombongan-rombongan lain yang lebih besar, lebih bersemangat di antara penduduk dari berbagai macam bangsa: Brazil dan Paraguay, Kongo, India, Siam, Cina serta Jepang. Kemudian ia melihat putaran roda berakhir.
Don Bosco membangun gereja-gereja, St. Yohanes Penginjil di Turin, Basilika Hati Kudus di Roma, lebih banyak sekolah-sekolah serta rumah-rumah Salesian.
Bunda Maria, dan bukannya Don Bosco, yang menyembuhkan seorang wanita yang lumpuh. Orang-orang mengusung wanita itu untuk bertemu dengan Don Bosco di depan gereja. Begitu melihat Don Bosco, wanita itu seketika lupa akan lumpuhnya dan segera meloncat mendapatkan Don Bosco.
Bunda Maria, dan bukannya Don Bosco, yang memulihkan penglihatan anak perempuan yang putus asa di ruang Sakristi Oratorio. Don Bosco mengulurkan medali Bunda Maria padanya dan Perlahan-lahan ia mulai mengenali medali tersebu. Ketika Don Bosco menjatuhkan medalinya, dan anak itu tanpa ragu segera memungutnya. Ia telah sembuh dari kebutaannya.
Demikian juga, Bunda Maria yang menyembuhkan Paul, anak kecil yang sedang sekarat itu. Don Bosco hanya mengalungkan medali St. Perawan Maria Pertolongan Orang Kristen ke lehernya.
“Hidup Don Bosco! Hidup santo kita!” begitu orang-orang meneriakinya di jalan. Namun Don Bosco sama sekali tidak menjadi lebih gembira atau pun bangga dengan seruan-seruan seperti itu, sebab ia tahu dengan pasti bahwa ia tidak punya kuasa untuk melakukan apa pun.
Bapa Suci Pius IX yang saat itu bertahta di Vatikan, mendukung serta menyemangati Don Bosco. Don Bosco membalasnya dengan kesetiaannya, doa-doanya, nasehat-nasehatnya, bahkan pesan-pesan mistiknya, antara lain tentang pertobatan Inggris seperti yang dilihat oleh Dominikus Savio dalam suatu penglihatan. Ia amat menghormati Bapa Suci.
Pada tahun 1867 Paus Pius IX sempat menegur Don Bosco karena Don Bosco menganggap remeh mimpi-mimpi serta penglihatan-penglihatannya. Sembilan tahun sebelumnya, Bapa Suci telah memerintahkan, “Tulislah semua mimpi dan penglihatan yang telah engkau sampaikan kepadaku dengan teliti dan seksama.” Paus yakin bahwa mimpi-mimpi Don Bosco adalah warisan serta sumber inspirasi bagi mereka yang terlibat dalam karyanya.
Namun yang dilakukan Don Bosco hanyalah menceritakan mimpi-mimpinya itu kepada orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu yang ia pikir ada hubungannya dengan mimpinya. Pada umumnya ia menceritakannya kepada anak-anak, karena kebanyakan dari mimpi itu berkenaan dengan mereka. Ia menggunakan mimpi-mimpinya untuk mengingatkan anak-anak untuk senantiasa menunjukkan kelakuan serta moral yang baik. Dalam salah satu mimpinya ia melihat anak-anak makan empat macam roti: roti yang enak, roti biasa, roti kasar dan roti tengik. Masing-masing roti mewakili jiwa masing-masing anak. Ia dengan senang hati akan mengatakan kepada anak-anak roti mana yang mereka makan, dan kemudian menggunakan kesempatan itu untuk memberikan bimbingan moral kepada mereka.
Memenuhi perintah resmi Bapa Suci, pada akhirnya Don Bosco menulis semua mimpi dan penglihatannya dalam buku "Dreams, Visions and Prophecies of Don Bosco".
Usia Don Bosco sudah hampir 70 tahun. Satu matanya sudah tidak dapat berfungsi, sedang matanya yang lain sudah kabur. Jika berjalan ia harus beristirahat sejenak di tongkat penyangga atau di pundak seorang teman. Namun hal-hal demikian tidak menghalangi Don Bosco untuk pergi ke berbagai tempat, mengunjungi biara-biara, merayakan misa di gereja-gereja.
Ke mana pun ia pergi, umat akan menyambut orang kudus ini dengan antusias. Don Bosco menandatangani potret, membagi-bagikan gambar-gambar kudus dan medali, memberikan berkat dan nasehat, mendengarkan pengakuan dosa, mempertobatkan banyak orang, melakukan mukjizat-mukjizat dan menerima banyak sumbangan untuk kelanjutan karyanya.
Tahun 1887 Don Bosco sudah amat lemah. Penglihatannya sudah tidak berfungsi dan kedua kakinya terlalu lemah untuk menyangga tubuhnya.
“Engkau harus menolong Don Bosco yang sedang menghadapi ajalnya. Cepat.”
Demikianlah Uskup Cagliero diperingatkan dalam suatu mimpi. Ia bergegas kembali ke Turin dengan membawa suatu hadiah yang amat berharga, seorang gadis Indian kecil yang ingin menyerahkan dirinya untuk melayani Kristus.
Don Bosco berdoa kepada Bunda Maria agar Bunda Maria menyediakan seribu tempat di surga bagi Serikat Salesian, kemudian ia meminta sepuluh ribu, dan kemudian seratus ribu. Bunda Maria mengabulkannya. Dan Don Bosco meminta lagi lebih banyak tempat.
Bosco membisikkan pesan terakhirnya kepada anak-anak yang berkumpul di sekeliling tempat tidurnya :
“Kasihilah satu sama lain seperti saudara. Berbuatlah baik kepada semua orang dan janganlah berbuat jahat kepada siapa pun. Katakanlah kepada anak-anak bahwa aku menanti mereka semua di Surga.”
Pada tanggal 31 Januari 1888, Yohanes Bosco wafat dalam usia tujuh puluh dua tahun.
Yohanes Berasal dari nama Yunani Ιωαννης (Ioannes), yang aslinya berasal dari nama Ibrani יוֹחָנָן (Yochanan) yang berarti "YAHWEH Maha pengasih", "Allah Maha Baik"
John, Jon (English), Deshaun, Deshawn, Keshaun, Keshawn, Rashaun, Rashawn (African American), Gjon (Albanian), Yahya (Arabic), Hovhannes, Ohannes (Armenian), Ganix, Ion, Jon (Basque), Ioannes (Biblical Greek), Yehochanan, Yochanan (Biblical Hebrew), Iohannes (Biblical Latin), Yann, Yanick, Yannic, Yannick (Breton), Ioan, Ivan, Yan, Yoan, Ivo, Yanko (Bulgarian), Joan, Jan (Catalan), Jowan (Cornish), Ghjuvan (Corsican), Ivan, Ivica, Ivo, Janko, Vanja (Croatian), Ivan, Jan, Johan, Honza, Janek (Czech), Jan, Jens, Johan, Johannes, Jon, Hans, Jannick, Jannik (Danish), Jan, Johan, Johannes, Hanne, Hannes, Hans, Jo, Joop (Dutch), Johano, Joĉjo (Esperanto), Jaan, Johannes, Juhan (Estonian), Jani, Janne, Johannes, Joni, Jouni, Juhana, Juhani, Hannes, Hannu, Juha, Juho, Jukka, Jussi (Finnish), Jean, Yann, Jeannot, Yanick, Yannic, Yannick (French), Xoán (Galician), Jan, Johann, Johannes, Hannes, Hans, Jo (German), Ioannes, Ioannis, Yanni, Yannis, Yianni, Yiannis (Greek), Keoni (Hawaiian), Yochanan (Hebrew), János, Jancsi, Jani, Janika (Hungarian), Jóhann, Jóhannes, Jón (Icelandic), Eoin, Sean, Seán, Shane (Irish), Giovanni, Gian, Gianni, Giannino, Nino, Vanni (Italian), Johannes, Joannes (Late Roman), Jānis (Latvian), Sjang, Sjeng (Limburgish), Jonas (Lithuanian), Johan, Hanke (Low German), Ivan, Jovan, Ivo (Macedonian), Ean, Juan (Manx), Hann, Jan, Jon, Hankin, Jackin, Jankin (Medieval English), Jehan (Medieval French), Zuan (Medieval Italian), Jan, Jens, Johan, Johannes, Jon, Hans (Norwegian), Joan (Occitan), Iwan, Jan, Janusz, Janek (Polish), João, Joãozinho (Portuguese), Ioan, Ion, Iancu, Ionel, Ionuț, Nelu (Romanian), Ioann, Ivan, Vanya (Russian), Eoin, Iain, Ian (Scottish), Ivan, Jovan, Ivo, Janko, Vanja (Serbian), Ján, Janko (Slovak), Ivan, Jan, Janez, Žan, Anže, Janko (Slovene), Iván, Juan, Xuan, Juanito (Spanish), Jan, Jens, Johan, Johannes, Jon, Hampus, Hans, Hasse, Janne (Swedish), Yahya (Turkish), Ivan (Ukrainian), Evan, Iefan, Ieuan, Ifan, Ioan, Iwan, Siôn, Ianto (Welsh)
Bentuk Feminim : Jone (Basque), Joanna (Biblical), Ioanna (Biblical Greek), Iohanna (Biblical Latin), Ioana, Ivana, Yana, Yoana (Bulgarian), Joana, Jana (Catalan), Ivana (Croatian), Ivana, Jana, Johana, Janička (Czech), Johanna, Johanne (Danish), Jana, Janna, Johanna, Janneke, Jantine, Jantje (Dutch), Johanna (Estonian), Janina, Johanna (Finnish), Jeanne, Jeannette, Jeannine (French), Xoana (Galician), Jana, Janina, Johanna (German), Ioanna, Nana (Greek), Johanna (Hungarian), Jóhanna, Jóna (Icelandic), Chevonne, Shavonne, Shevaun, Shevon, Síne, Siobhan (Irish), Giovanna (Italian), Johanna (Late Roman), Janina (Lithuanian), Ivana, Jovana (Macedonian), Jehanne, Johanne (Medieval French), Johanna, Johanne (Norwegian), Janina, Joanna (Polish), Joana (Portuguese), Ioana (Romanian), Zhanna, Ivanna (Russian), Jean, Sìne, Jessie, Teasag (Scottish), Ivana, Jovana (Serbian), Jana (Slovak), Ivana, Jana (Slovene), Juana (Spanish), Janina, Janna, Johanna, Jannicke, Jannike (Swedish), Siân (Welsh)