Agatha Yi lahir pada tahun 1784 di Kuwul, dekat Inchon, Provinsi Kyonggi. Ditahun ini pula, Yi Sung-hun orang Katolik pertama dari Korea, dibaptis di Peking China. Agatha Yi dikenal ramah dan sopan. Ia selalu membawa cahaya dan kegembiraan bagi seisi rumahnya. Ayahnya bukanlah seorang Katolik, dan walaupun ibunya pernah menjadi seorang katekumen, ibunya itu tidak terlalu paham tentang iman kristiani. Karena itu Agatha kecil tidak menerima pelajaran agama yang memadai.
Pada usia tujuh belas tahun, Agatha Yi menikah dengan pria yang berasal dari keluarga non-Katolik. Hidupnya kini nyaris tanpa memiliki agama. Namun, karena dia tidak dapat memiliki anak, Agatha Yi mencari cara lain untuk mengisi kehampaan hidupnya.
Dua tahun setelah pernikahan Agatha Yi, adik laki-lakinya yaitu Yi Ho-yong (Santo Petrus Yi Ho-Yong), lahir. Dia sembilan belas tahun lebih muda daripada Agatha, dia menjadi sumber sukacita bagi Agatha. Setahun kemudian suaminya meninggal dunia. Agatha Yi kini menjadi seorang janda hanya setelah tiga tahun menikah, dan tanpa seorang keturunan. Tragedi ini membuat Agatha Yi merasakan ketidakpastian dan ketidakpercayaan akan masa depannya. Dia merasakan kebutuhan untuk menemukan nilai dan keteguhan dalam hidupnya. Keinginannya semakin merasuki hatinya setelah kematian ayahnya, tidak lama setelah kematian suaminya. Walau sedih karena kepergian ayahnya, namun Agatha juga bersyukur karena sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhir, ayahnya telah dibabtis oleh ibunya dan membuat ayahnya dapat meninggal dengan tenang.
Setelah kematian sang ayah, Agatha Yi memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya demi menyokong kehidupan ibu yang sudah tua dan adik laki-lakinya Ho-yong yang masil kecil. Kehidupan di rumahnya kini menjadi sangat sulit. Agatha harus merawat ibu dan adiknya sementara harta warisan dari ayahnya telah habis. Ia terpaksa bekerja sebagai penjahit untuk menghidupi keluarganya.
Di tengah kesulitan ini, Agatha tidak pernah kehilangan ketenangannya. Dia bersama adiknya memutuskan untuk mengikuti pelajaran katekese. Bersama-sama, mereka menjalani kemiskinan hidupnya dengan kehidupan yang penuh cinta kepada Tuhan dan sesama. Teladan para martir pada penganiayaan tahun 1801 dan kemenangan abadi mereka melalui kematian selalu hidup dalam hati kedua kakak-beradik ini. Pola hidup mereka yang saleh membuat umat Katolik lainnya menjadikan mereka sebagai teladan keluarga Katolik.
Santo Karolus Hyon Song-mun dalam “Catatan Harian Gihae” yang terkenal itu, menulis tentang Agatha Yi :
Agatha Yi ditangkap oleh polisi bersama dengan adik laki-lakinya Petrus Yi Ho-yong pada bulan Februari 1835. Mereka berdua lalu dipenjarakan dan diinterogasi. Komisaris polisi yang memeriksa mereka membujuk kedua kakak-beradik ini untuk murtad dan meminta mereka untuk melaporkan nama-nama umat beriman lainnya. Namun dengan berani mereka berdua menjawab : “Allah adalah Bapa kami dan kami tidak dapat mengkhianati Dia. Jika kami memberikan nama-nama umat beriman lainnya, maka mereka akan berada dalam bahaya. Karena itu kami tidak dapat melakukan keduanya.”
Komisaris lalu memerintahkan agar mereka berdua disiksa dengan metode penyiksaan yang sangat brutal, yang sudah dilarang melalui dekrit kerajaan tahun 1732, namun metode ini diperkenankan untuk digunakan secara khusus pada umat Katolik. Agatha Yi dipukuli sekujur tubuhnya sampai dagingnya terlepas dan kakinya dibuat sakit terperikan dengan dipelintir kebelakang. Namun imannya tetap tak tergoyahkan. Karena itu para algojo lalu menelanjanginya, menggantung tubuhnya dengan kedua lengan terikat di belakang, lalu kembali memukuli seluruh tubuhnya dengan gada.
Beberapa hari kemudian, Agatha Yi kembali dibawa keluar lalu dipukuli sampai tubuhnya berlumuran darah. Selama penyiksaan yang mengerikan ini, Hanya satu kalimat yang keluar dari mulut wanita perkasa ini : “Saya tidak dapat mengkhianati Gereja.”
Komisaris segera menyadari bahwa dia tidak akan berhasil membuat kedua kakak beradik murtad. Karena itu ia lalu menyerahkan mereka ke pengadilan. Pengadilan kemudian memutuskan hukuman mati bagi Agatha dan adiknya Petrus Yi Ho Yong. Mereka menghabiskan waktu empat tahun di penjara sambil menunggu keputusan pelaksanaan hukuman mati oleh raja. Enam bulan setelah kematian Petrus Yi Ho-yong dalam penjara, perintah dari raja untuk pelaksanaan eksekusi mati akhirnya turun.
Pada tanggal 24 Mei 1839, Agatha Yi yang saat itu telah berusia lima puluh enam tahun, digiring keluar bersama dengan delapan martir Katolik lainnya yang tertangkap kemudian. Mereka semua dibawa ke sebelah luar Pintu Gerbang Kecil Barat Seoul lalu dieksekusi dengan cara dipenggal. Dikatakan bahwa Agatha Yi membuat tanda salib dengan hormat sebelum menyerahkan kepalanya untuk dipenggal.
Santa Agatha Yi So-Sa dibeatifikasi bersama Para Martir Korea oleh Paus Pius XI pada tanggal 5 Juli 1925 dan dikanonisasi pada tanggal 6 Mei 1984 di Yoido, Seoul, oleh Paus Yohanes Paulus II.
Berasal dari kata Yunani αγαθος (agathos) yang berarti : "Baik" atau "indah"
Agathe (Ancient Greek), Agata, Jaga (Croatian), Agáta (Czech), Agathe (Danish), Agathe (French), Agathe (German), Agathe (Greek), Ágota, Ági (Hungarian), Agata (Italian), Agathe, Ågot (Norwegian), Agata (Polish), Águeda (Portuguese), Agafya, Agata (Russian), Agata, Jaga (Serbian), Agata (Slovene), Agata, Águeda (Spanish), Agata, Agda (Swedish)
Bentuk Pendek : Aggie (English)
Bentuk Maskulin : Agathon, Agathos ( Greek), Agathus (Latin)