Beato Diego Carvalho (Didakus Carvalho) lahir di Coimbra Portugal pada tahun 1578. Sejak muda ia telah aktif dalam kegiatan-kegiatan kerohanian gereja dan bercita-cita ingin menjadi seorang misionaris. Ia hendak berkarya diantara bangsa-bangsa yang belum mengenal Tuhan dan ingin mengalami kejadian-kejadian istimewa ditanah misi seperti yang sering dikisahkan tentang para misionaris.
Pada usia 22 tahun, Diego dan keluarganya pindah ke Goa India, yang saat itu adalah wilayah koloni Portugal. Ditempat inilah Diego menemukan panggilan hidupnya dan memutuskan untuk masuk seminari Serikat Yesus pada tahun 1594. Ia menjalani novisiat di Goa lalu melanjutkan studinya di Macau China, dimana ia ditahbiskan menjadi seorang imam pada tahun 1608.
Tugas perdana Jesuit muda yang penuh semangat ini adalah belajar bahasa Jepang demi mempersiapakan diri menjadi missionaris ke negeri matahari terbit yang dimasa itu masih terisolasi. Diego tiba di Jepang pada tahun 1609 dan mulai bekerja sebagai seorang missionaris di wilayah Kyoto dan Miyako. Diego Carvalho sungguh seorang Jesuit sejati. Ia melayani umat katolik Jepang yang masih sedikit dengan baik dan ramah. Sesuai semboyan Serikat Jesus : Ad Majorem Dei Gloriam (Demi kemuliaan Allah yang lebih besar), Diego tidak segan melaksanakan pekerjaan berat dan selalu bersedia memberi pelayanan kepada umat di wilayah yang sulit dijangkau meskipun harus berjalan kaki selama berhari-hari melalui medan yang sulit dan berbahaya.
Disekitar tahun 1612 penguasa Jepang Shogun Tokugawa Ieyasu mengeluarkan surat keputusan untuk mengusir semua misionaris asing. Pater Carvalho dengan berat hati harus meninggalkan umatnya dan dideportasi ke Makau bersama dengan 100 orang Jesuit lainnya. Namun Diego tidak lama berada di Makau. Ketika mendengar kabar tentang penganiayaan yang dialami umat Katolik Jepang, pada tahun 1617, pater Diego kembali Jepang secara diam-diam dan melanjutkan pelayanannya dalam kondisi yang sangat sulit dan berbahaya.
Tercatat ia pernah dua kali datang ke Yezo (sekarang disebut Hokkaido) dan merupakan imam Katolik pertama yang merayakan Misa di tempat itu. Melalui sebuah suratnya diketahui ia juga menjalin hubungan dengan Suku Ainu (suku asli Jepang yang terdapat di pulau Hokkaido). Dalam masa sulit dan berbahaya ini, Diego tetap merasa bersyukur karena pertumbuhan iman Katolik di Jepang. Banyak orang Jepang menerima pembabtisan meskipun diancam dengan hukuman mati oleh penguasa.
Pada bulan Desember 1623, Pater Diego Carvalho sedang bekerja di Miwake ketika ia ditangkap oleh anak-buah penguasa setempat. Ia ditahan dan dijatuhi hukuman mati pada tanggal 22 Februari 1624 di Sendai. Hukuman mati atas dirinya berlangsung mengerikan. Bersama para martir Kristus lainnya ia ditelanjangi dan dibenamkan ke dalam sungai Hirose yang hampir membeku. Satu-persatu mereka membeku dan meregang nyawa akibat hipotermia. Setelah senja, tujuh orang telah tewas, dan saat matahari terbenam, hanya pater Diego yang masih hidup. Ia kemudian dikeluarkan dari sungai dan disesah hingga babak belur, lalu ditenggelamkan lagi. Pater Diego Carvalho menerima mahkota kemartirannya selepas tengah malam 22 Februari 1624. Keesokan paginya, jenasah mereka dicincang dan dibuang ke sungai. Umat beriman berupaya keras menyelamatkan jenasah para pahlawan iman ini, namun mereka hanya dapat menemukan lima buah kepala yang salah satunya adalah pater Diego. Kepala lima orang martir ini lalu dimakamkan dengan semestinya.(qq)
Berasal dari kata Latin Didacus, yang kemungkinan diambil dari bahasa Yunani διδαχη (didache) yang berarti : Mengajarkan
Diego, Didac, Didacus, Dydak